Blog Universitas Pertamina

Goresan Panjang

Lanjutan dari Waktu – Universitas Pertamina

Awalnya, aku tak mengira akan dipertemukan dengan mereka, mahasiswa-mahasiswa yang memiliki kenekatan dan menarik lebih kencang simpul dalam pikiranku tentang akumulasi bencana yang bisa menimpa Bandung. Bahwa mereka, punya banyak energi positif dari caranya membaca gejala-gejala yang dikemukannya, lebih ilmiah dan visioner. Beberapa di antaranya punya kesan rapi, telaten dan tetap menjaga dirinya untuk tak memaksakan argumennya. Ada juga yang liar, penuh semangat namun berbakat. Ini adalah sebuah modal bagus dalam pikiranku. Rekanan, memang tak mesti dengan usia yang sepantaran, beberapa orang dilahirkan ke dunia dengan usia-usia belia, tapi punya masa depan yang lebih cemerlang itu bisa saja di hadapan mata kita.

Ajat, Isaac dan Karyo adalah medan magnet yang lain dalam ruang penelitianku, kini. Mereka semua mahasiswa yang baru lulus menyandang gelar sarjana.  Begitu melihat wajah mereka, serasa akan ada satu ruang, di mana pintu masuk lebih dalam ke penjelajahan, masing-masing dari mereka sudah punyai jalannya.

Ajat mahasiswa Geologi Struktur, Isaac mahasiswa Vulkanologi dan Karyo adalah lulusan Geodesi. Ketiganya memiliki cerita tersendiri bisa merapat menjadi sebuah tim. Tentu ada yang memang kebetulan tak didasari oleh kesengajaan. Ada yang memang benar-benar sejak awal, gerak-geriknya memang ingin diajak.

Sungguh pun demikian, ketiganya adalah aset yang berarti di tengah miskinnya mahasiswa-mahasiswa yang bersemangat tinggi. Beberapa mahasiswa yang lulus dari kampus ini ada yang memilih pulang ke kampungnya dan ada yang memutuskan kembali bepergian dengan merantau.

Pertama kali, mahasiswa yang kujumpai ialah Ajat. Saat itu aku sedang lewat di lorong lantai 2 Fakultas. Kuperhatikan seorang mahasiswa yang hanya menatap lekat-lekat pada maket yang terhampar. Ia bicara lewat pandangannya. Lalu jarinya diletakan tepat di atas garis Sesar Lembang.

 “Ingin rasanya aku menghiraukan hal buruk ini yang dikandung lapisanmu.” Dia terus saja berdiri di pinggir maket besar di tengah ruang depan perpustakaan.

Pikirku, mungkin dia hanya mahasiswa yang sedang asyik menunggu seseorang maka dari itu ia hanya sedang iseng membunuh waktu.

Beberapa saat kuperhatikan kemudian, tatapan tajam itu berubah menjadi sebuah racauan.

“Ini masih aktif, besok atau lusa akan bergerak dan kita tak pernah tahu akan jadi apa,” ia seperti kesal dan terus saja menyalahkan diri.

“Sedang apa bung?” Kuhampiri dengan gaya seorang kakak seniornya kepada adik kelas.

Ia tampak terkejut, mundur beberapa langkah. Melepaskan tangannya dari atas meja maket. Lantas Menatapku, dan cemas kalau-kalau aku mendengarkan racauannya dari tadi.

“Bukan apa-apa, Kang,” senyum yang tertahan dan ingin sepertinya ia berlalu.

“Kalau tak salah, tadi Si Ular Lembang?” Aku berusaha mengorek padanya, siapa tahu benar-benar bisa memancingnya.

Ajat pun dengan malu-malu kucing, mengaku. Matanya berbicara banyak daripada mulutnya yang sengaja dibungkam.

“Kaupunya waktu?” Ajakku, Ajat hendak mengelak dan akan beralasan.

“Ayo, sebentar!” Dariku mengajak dengan tulus. Ajat pun akhirnya mengikuti langkahku.

Memasuki kantor, langkahku tiba-tiba terasa ringan. Begitu sampai di mejaku, tumpukan riset dan arsip penelitianku di bawah segera kuangkat. Di atas meja kujatuhkan. Suara timpaannya terdengar lantas membuat Ajat semakin bertanya-tanya tentang apa maksudku mengajaknya.

Ajat menelisik ke tumpukan kertas-kertas itu.

“Apa itu, Kang?”

“Semua hal yang kukumpulkan mengenai Si Ular Lembang.”

Ajat menggapainya. Pertama kali dalam raihan tangannya dirinya hanya menyentuh. Lantas menelisik dan membacanya dengan telaten. Ketika dia mulai mengangkat arsip-arsip itu lembar demi lembar, kulihat ada sesuatu yang berkobar.

“Tentu tak akan cukup hanya membacanya sekilas.” Kataku memotong.

“Jantani. Namamu?”

“Ajat.”

“Kau boleh membacanya jika merasa perlu, siapa tahu itu akan meyakinkanmu apakah Ular Lembang akan terbangun atau tidak.”

“Beneran, Kang?”

“Ya. Buat penelitian?”

“Lebih ke penasaran.” Aku mengangguk.

Dari sanalah kami akhirnya, sering memulai sebuah diskusi, di mana kesamaan akan rasa takut yang besar bisa terjadi pada Kota Kembang yang mengandung sebuah potensi ‘kiamat’ yang tak terduga.

Aku pernah bertanya pada seorang Mahasiswa apa yang bisa ditawarkan oleh Gunung Tangkuban Perahu, selain mitos perahu terbalik dan keindahannya? Seorang mahasiswa menjawabnya dengan pedas, ‘miniatur kiamat dari letusan gunung’. Dengan gaya seorang kakak yang baik, aku pun membayangkan jika jawaban itu, sebenarnya tak kuharapkan.

Apalagi dalam forum kecil-kecilan bersama para ahli Geologi di ruang sekretariat yang sudah lama menjadi rutinitas itu bukan forum formal. Tetapi mahasiswa itu dengan penuh pertimbangan memperlihatkan padaku bahwa dampak dari letusan itu, seolah-olah Sangkuriang pun menyesal telah menendang perahu yang mengakibatkan berubah menjadi gunung. Karena gunung itu pun akan membinasakan seluruh orang yang mengenang dirinya sebagai mitos.

Aku awalnya, meladeninya sebagai sebuah lelucon. Yang hadir pada saat itu pun hampir sama denganku, menganggap sebuah lelucon. Sebab sekali lagi, pada saat itu forum santai, mengenai Bandung sebagai destinasi wisata. Sayangnya, Mahasiswa itu tak mengubah sedikit pun air muka dari keseriusan ketika mengatakan ‘letusan gunung yang mengeluarkan isi perutnya dengan suhu 1000 derajat tak akan menyisakan mahluk hidup apapun selain menunggu peradaban baru dibangun.’

Barulah aku mengerti, apa yang diucapkannya ialah memang keresahan yang selama ini terbawa dalam banyak waktunya. Mahasiswa itu, bernama Isaac dan memperkenalkan dirinya seorang yang tak suka berandai-andai jika tanpa bukti.

Di balik keseriusan dan seluruh tuduhannya terhadap Tangkuban Perahu, aku memang menyukai ia. Benar-benar memiliki keberanian dan kokoh dalam pendiriannya.

“Aku bisa memberikan kecenderungan pola yang konstan dari akibat lempengan tektonik, data-data histori misalnya,” lalu lelaki yang kurus dan berambut keriting itu pergi menuju kantin. Aku tersenyum melihat tingkahnya.

Sehabis forum bubar, aku hendak menikmati suasana kantin di samping taman kampus. Melihat kerumunan kecil orang-orang di seberang, tepatnya di selasar mesjid yang asyik mengaji dan berdiskusi.

Bersama beberapa orang sehabis salat, biasanya aku mampir sekadar mengisi perut yang kosong atau menikmati minuman di sana. Dan, mungkin sudah berjodoh, aku melihat lelaki kurus yang tak lain bernama Isaac sedang seorang diri duduk menatap piringnya yang sudah kosong.

Entah perasaan apa yang menuntunku untuk menghampirinya. Kutepuk bahunya pelan, sebagai bentuk keakraban.

“Bung?”

“Eh, Kang.” Lelaki itu menggeser duduknya dari bangku yang memanjang, hendak mempersilakanku duduk.

Gimana-gimana, soal vulkanik gunung Tangkuban itu?” Langsung kuajukan tanya yang mungkin dia ingat kembali apa saja yang belum sempat disampaikan dirinya tadi di forum.

Begini, Kang!” Dia membenarkan posisi duduknya lebih menghadap tubuhnya padaku.

“Kemungkinan Tangkuban dalam fasa eksplosif.” Tambahnya, sambil kedua tangannya membalikkan piring yang kosong di atas meja. Lalu menunjuk tepat ke tengah piring yang menangkup seakan menggambarkan sebuah letusan gunung.

Aku diam memerhatikannya. Antara terkagum-kagum dengan gayanya yang ekspresif sekaligus lucu. Aku menghirup udara dalam-dalam.

“Ok,” kusodorkan tanganku.

“Selamat datang, bung!” Ia tak kunjung juga meraih tanganku yang meminta salaman.

“Eh iya, Isaac, namaku Kang!” Kemudian dia mengangguk dengan mengenalkan dirinya.

Ada seorang lagi, anggota tim. Ia lulusan sarjana Geodesi. Karyo adalah orang terakhir yang aku nantikan untuk melengkapi tim. Di saat semua orang-orang yang kubutuhkan sudah lengkap, mungkin Karyo inilah yang paling kucari-cari. Karyo ialah seorang mahasiswa yang telaten di masa kuliahnya, ia dijuluki data berjalan. Kemampuannya memang mengumpulkan data-data yang rapi dan lengkap mengenai sejarah pergerakan kerak bumi, khususnya di Pulau Jawa.

Dia baru bekerja di Badan Penelitian Pemerintahan. Karyo berpenampilan paling rapi di antara yang lain. Kemeja yang setiap hari dikenakannya tak pernah kusut, seolah-olah baru keluar dari laundry. Lipatan setrika pada celananya terlihat jelas garis lurus melintang dari paha sampai ke ujung paling bawah. Sepatu hitam yang mengkilap dengan semiran yang tak pernah terlewat.

Ajat dan Isaac sepakat memanggil Karyo dengan sebutan MIB, alias Man In Black. Setidaknya, Karyo hanya senyum-senyum saat digoda seperti itu. Bukan karena kemeja dan berjas, tapi karena dalam bayangan Ajat dan Isaac, Karyo bekerja di sebuah kantor rahasia yang mengelola data alam purba.

Genap sudah, bagiku, kumpulan orang-orang yang memiliki minat yang sama pada Sesar Lembang. Dipertemukan dengan cara dan jalan yang berbeda-beda latarnya. Ini adalah sebuah karunia, bukankah pertemanan sekarang menjadi sangat mahal harganya? Di tengah hirup-pikuk suasana orang-orang lebih suka berdebat, mencaci-maki sampai menghina.

Oleh karena itu, kami sepakat begitu ada sedikit rezeki, menyewa sebuah ‘kantor’ kecil di jalan Dayang Sumbi. Tak terlalu besar memang, hanya beberapa ruang yang kemudian kami tata. Tempat bagi kita berempat bertemu mengadu gagasan dan bertukar ide, demi mendapatkan sebanyak mungkin kesimpulan.

Aku dan Ajat yang paling sering bertemu siang hari. Isaac biasanya muncul sorenya. Sedangkan Karyo biasanya agak malaman. Sesekali Ajat menginap di sana, karena dia suka sekali mengupas sendirian apa saja temuan dariku, atau data yang diberi Karyo. Alhasil, untuk lebih intens dia tak keberatan menginap di kantor sekalian berjaga.

Lanjut ke: Penelitian Alam – Universitas Pertamina

Share :
Previous Post
Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *