Blog Universitas Pertamina

Melukis Tidak Perlu Bakat

Saya mencoba mengingat-ingat kapan perkenalan saya dengan dunia lukis. Apakah karena waktu kecil  jaman TV hanya ada satu chanel TVRI dan masih hitam putih, ada siaran Gemar Menggambar yang diasuh Pak Tino Sidin ? Ah saya rasa terlalu jauh. Mungkin yang paling dekat adalah saat saya merenovasi rumah lebih 10 tahun lalu, dimana saya ingin di satu dinding dilukis seperti mural. Saya kemudian dikenalkan dengan seorang Guru Besar Seni dari ISI, Prof. Dwi Maryanto. Tadinya saya mau tanya dia, siapa pelukis yang bisa menggambar mural untuk interior rumah. Jawaban Pak Dwi tidak seperti yang saya harapkan, dia malah berpendapat kalau lukisan di tembok tidak akan menambah nilai rumah kalau rumah itu mau dijual lagi suatu saat, mending membuat lukisan di kanvas saja, dan beliau memperkenalkan saya dengan muridnya seorang pelukis dari Bali yang berdomisili di Yogya, Dewa Made Mustika. Bli Dewa, demikian saya memanggilnya, tidak hanya manjual karya-karyanya yang didominasi gambar-gambar pewayangan dan Dewa Perang Kwan Kong dengan gaya ekspresionis, tetapi juga berdiskusi tentang semangat melukis, teknik  dan bagaimana mengisi jiwa lukisannya. Selain diskusi yang awalnya seperti absurd, saya juga coba belajar meniup seruling dan menabuh gamelan Bali, serta pernah juga latihan menari bersama keluarganya di rumahnya di Ubud.

Perkenalan dengan Dewa Mustika membuat saya juga berkenalan dengan banyak teman-teman pelukis, seperti Nyoman Ray Widiana, Melodia, Nur Ilham, Made Kenak, Erika Hestu, Polenk Rediasa, Endrobanyu, Agus Siswanto, dan lain-lain. Pergaulan dengan para pelukis ini, membuat saya tertarik untuk mengoleksi sekaligus juga pingin belajar melukis sendiri.  Kata orang yang paling susah itu belajar melukis dengan cat air, maka ketemulah saya dengan pelukis yang sering mengadakan workshop, mas Denny Samawa pelukis otodidak dari Surabaya, yang berasal bukan dari sekolah seni tetapi dari sekolah teknik.  Dan memamg sangat sulit menguasai teknik melukis dengan cat air, tidak pernah berhasil sampai sekarang.

Ketemu dengan Cucu Afandy

Suatu saat saya kedatangan tamu dari Jakarta yang adalah anak dari Bu Kartika Afandy, anak maestro ekspresionis Indonesia Afandy, yaitu mas Uki. Kami karaokean, ngobrol tentang profesinya sebagai awak pesawat, dan lain-lain di rumah saya di Yogya, sambil berbincang tentang lukisan tentunya. Dia sendiri bukan pelukis, karena profesinya adalah pramugara pesawat. Meskipun mempunyai darah seni dia tidak menekuni kegiatan melukis, justru istrinya yang melukis di media kaos. Bahannya yang digunakan saya belum pernah menemukan di toko, yaitu rubber paint.

Saat mengunjungi rumahnya di Tangerang, kami ngobrol tentang bahan, teknik, kemana memasarkan karyanya, dan lain-lain.   Dia bercerita bahwa motivasi mereka melukis di kaos atau di kanvas bukan untuk mencari uang semata, tapi untuk mengekspresikan diri, mengisi waktu bahkan merenung.  Sang istri yang sebelum adalah pramugari, memperlihatkan karya-karya indah di kaos koleksinya.  Pilihan warna-warna nya sangat kontras biru, merah, kuning, hijau bergambar kucing, sangat indah dan sayang untuk tidak saya koleksi. Orang boleh saja bertanya apakah itu gambar kucing, apa bukan harimau atau kijang ? Tapi saya malah senang dengan ketidak setujuan orang yang menilai suatu lukisan.

Melukis Kaos dan Batik

Ternyata perjumpaan dengan mas Uki dan istrinya menambah pilihan saya untuk menekuni kegiatan melukis.  Saya pingin membuat lukisan di kaos yang lebih lembut dipakai, saya coba membuat dengan cat acrylic untuk kain.

Berbeda dengan melukis di kanvas yang memungkinkan ruang untuk salah yang besar, melukis di kaos ternyata punya tantangan sendiri. Kalau ceroboh tangan belopotan atau kuas yang tidak senganja “menggambar” di ruang yang tidak seharusnya, sulit sekali merevisinya.  Merespon kesalahan di kaos agak sulit, meskipun kecelakaan tertentu bisa menghasilkan karya yang lebih “nyeni”.  Kecelakaan yang sering terjadi akhirnya saya jadikan gaya dari lukisan saya.  Misalnya coretan di punggung, di lengan, baik berujud atau abstrak.  Disinilah kecelakaan bisa bernilai, kalau kita bisa merespon dengan baik.

Lantas apa objek yang paling saya suka ?  Awalnya saya menyukai bunga matahari sebagai objek lukis di kaos, meniru lukisan di kanvas karya Maria Tjui yang saya koleksi. Selain itu banyak juga saya membuat naga, karena sisik-sisik naga menciptakan dimensi yang tidak terduga. Pernah pula membuat burung merak yang saya persembahkan untuk sahabat saya mantan Rektor Universitas Pertamina Bapak Prof. Akhmaloka.

Ternyata kreasi dalam menggambar tidak ada batasnya.  Belajar dari lukisan Dewa Mustika yang memenangkan Philip Moris Award, menempelkan topeng leak yang dipotong-potong di kanvas, saya menempelkan potongan karung goni sebagai putik di bunga mataharinya.  Tempelan karung goni menciptakan dimensi yang unik.

Selain menggambar di kaos dengan cat acrylic, saya pernah mencoba menggambar dengan metode batik di kaos.  Karena tidak menguasai proses pembatikan, setelah selesai membuat gambarnya di kaos, pembatikan saya serahkan ke teman di Yogya   Demikian pula saat menggambar berbagai pola batik, dengan pola yang sudah ada patronnya atau kontemporer, saya berkolaborasi dengan teman saat kuliah di Psikologi UGM, Veri Ikawati di Surabaya dan mas Tri Wahyono di Yogyakarta.

Seni dan Manajemen

Melukis buat saya adalah mengekspresikan perasaan ke suatu bidang, bisa di kanvas, di kaos, di kain, bahkan di tembok atau batu kerikil.  Kadang pula merupakan ekspresi pemberontakan atau perlawanan yang kita tidak bisa lampiaskan karena berbenturan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat.  Tetapi di lukisan, saya bisa melukis tokoh pewayangan Togog yang membawa senjata pistol, pesanan sahabat saya Pak Bambang dari The Jakarta Post. Lukisan di kaos yang dibuat dengan metode pembatikan itu terjadi ketika ada aparat yang seharusnya melindungi warga, tetapi justru mencelakakan masyarakat.

Kalau kita sebagai manager atau apapun posisi kita di suatu organisasi, tentu banyak aturan yang harus ditaati.  Kadang kita harus berhadapan dengan situasi yang bertentangan dengan hati nurani, dan itu pastilah menekan kita. Misalnya harus mengeluarkan anak buah yang beberapa kali tidak disiplin  dalam pekerjaannya, padahal kita tahu akibatnya bagi keluarganya.  Atau sebaliknya untuk mempertahankan calon karyawan yang tidak disiplin, lebih karena pertimbangan dia anak orang besar.  Semua itu membuat tidak bisa tidur beberapa hari.  Berbeda dengan mengerjakan suatu pekerjaan seni.  Kalau saya melukis ayam, mungkin tidak akan berhadapan dengan konflik seperti di atas, paling juga orang “berdebat lucu” bahwa itu bukan ayam, itu bebek atau bahkan dinosaurus. 

Melukis sebenarnya juga peperangan, perang dengan diri sendiri. Kalau kita mantap, percaya diri, mengerjakan dengan sepenuh hati dan pikiran, kita akan puas dengan hasilnya. Tetapi sebaliknya kalau kita banyak pertimbangan, ‘ah nanti apa kata orang monyet kok warnanya biru’, kita tidak akan puas dengan karya kita.

Pengalaman saya dari belajar melukis, kita diajarkan untuk berpikir terbuka, sabar. Sering saat kami melukis on the spot bersama Dewa, dia sering berujar “tuangkan aja apa yang ada dalam pikiran kita” ke kanvas. Dan ternyata meskipun kami menggambar di area yang sama, yang tertoreh di kanvas pasti berbeda. Awan tidak harus biru, awan bisa kelabu, bisa merah tergantung suasana hati dan tangkapan mata hati.  Kesabaran juga tanpa disadari terasah, karena kita tidak selalu mendapatkan yang kita inginkan.

Nasihat Pak Tino Sidin di TVRI, yang selalu bilang “menggambar itu jangan takut salah, ya gitu … bagus … bagus ..”, selalu saya ingat dan menjadi penyemangat dan motivasi saya.  Ketika pertama kali mengikuti suatu pameran amal yang diadakan Pertamina Foundation, rasanya minder banget lukisan “Mengintip Gunung Merapi” saya digantung di antara karya-karya pelukis beneran.  Tetapi ketika lukisan di kanvas tersebut diminati oleh seorang teman dan hasilnya bisa dinikmati oleh masyarakat yang membutuhkan, rasanya puas banget.

Demikian pula hasil kerja kita di organisasi, kalau kita melakukan dengan serius, sepenuh hati, terbuka terhadap masukan atau pendapat orang lain, sabar dan tekun, sekecil apapun peran kita, pasti mempunyai kontribusi pada organisasi.  Mari kita isi hidup kita dengan secuil vitamin jiwa.

Bogor, 12 Februari 2022   

Share :
Previous Post
Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *