Blog Universitas Pertamina

Penelitian Alam

Lanjutan dari Goresan Panjang – Universitas Pertamina

Di bulan ketiga, setelah tim terbentuk, Aku hendak mengambil data stratigrafi Sagpond yang dilakukan di Desa Panyairan, Parongpong. Sebuah tempat yang mana berada pada lembah di belakang gawir Sesar Lembang. Aku menemukan data bahwa lebar lembah utara-selatan sekitar 500 meter. Sebagian besar lokasi ini juga sudah dimanfaatkan menjadi kebun palawija dan sebagian masih memperlihatkan rawa yang ditutupi oleh semak.

Aku harus mengamati setiap titik mulai dari 20 meter sampai sekitar 60 meter untuk menemukan jarak interval yang pas. Ajat pun setuju pada saat itu. “Semakin rapat interval tiap titik pengamatan akan lebih baik,” begitulah Ajat menambahkannya.

Aku tahu karena dapat menghasilkan variasi stratigrafi yang lebih banyak. Aku pun akan mendapatkan informasi jika berhasil melakukan pengeboran dan memperolehnya agar dapat segera digolongkan.

“Dari penampang stratigrafi terlihat bahwa sekuen Sagpond yang disusun oleh endapan rawa cukup tebal dengan dibatasi bagian atasnya oleh paleosol dan bagian bawahnya oleh tufa.” Aku paparkan temuanku.

“Di daerah ini terdapat juga lapisan tufa epiklastik yang memperlihatkan butiran berupa fragmen batuan beku dan pumice dengan bentuk membundar tanggung.” Ajat juga menambahkan apa yang didapatkannya.

 Hal ini juga yang membuktikan bahwa daerah ini adalah hasil erosi. Perulangan sekuen di daerah ini sangat jelas terutama pada bagian lingkungan yang relatif dalam dan letaknya tidak terlalu jauh dengan gawir sesar. Semakin ke utara, menjauhi gawir sesar terlihat endapan rawa yang semakin tipis dan dangkal dengan perulangan sekuen yang semakin sedikit.


Aku dan Ajat semakin percaya, kalau masyarakat di sekitaran pun harus tahu dengan apa yang bisa menimpa pada mereka semua. Banyak hal yang dikandung daerah ini sebagai rawan bencana. Dan bila pada waktunya tiba, tentu tak semua orang mengharapkannya. Kehancuran akan diterima di mana-mana.

“Gunung Tangkuban Perahu pernah meletus. Dan itu adalah letusan ketiga sepanjang tahun 2013. Ada keanehan dari letusan itu dibanding letusan-letusan sebelumnya.” Isaac kembali mengutarakan apa yang dicurigainya.

Bagi letusan selalu yang ditandai isyarat berupa aktivitas vulkanik yang tiba-tiba meningkat. Tapi letusan pada lima tahun lalu itu sama sekali tak ditandai dengan peningkatan aktivitas sebelum letusan.

Precursor-nya tak terlalu jelas, tak juga terlalu mencolok, pada saat itu,” begitu yang disampaikan Isaac.

Isaac beranggapan karena kemungkinan letusan bersifat dangkal. Tak ada tekanan dari bawah yang mengakibatkan adanya gempa vulkanik sebelum letusan. Jika dibandingkan dengan letusan pada Februari dan Maret di tahun itu, sebelum letusan selalu terpantau karena aktivitas vulkaniknya meningkat.

Berdasarkan catatan, tahun 2013 adalah letusan pertama sejak hampir 20 tahun. Terakhir kali, Gunung Tangkuban Perahu meletus pada 1994. Setelah itu, aktivitasnya terbilang fluktuatif.

“Dari tahun 1999 sampai 2012 ada beberapa kali peningkatan aktivitas, tapi tidak sampai meletus,” Karyo akhirnya masuk ke dalam obrolan.

“Jika letusan yang terjadi pada lima tahun lalu tidak ditandai dengan isyarat. Setelah itu, letusan demi letusan terjadi setiap harinya. Letusan pun akan  ditandai dengan tremor sebelum atau sesudahnya.” Isaac kemudian masuk dan menemukan titik terang.

Sebenarnya Isaac dan Karyo pun berharap Tangkuban Perahu tetap akan normal. Tapi untuk saat ini, Lima tahun setelah letusan, Gunung Tangkuban Perahu mesti mereka amati.

Isaac berusaha menggambarkan jika Tangkuban Perahu meletus, maka seluruh Bandung akan diliputi suasana mencekam. Misalnya dirinya menggambarkan letusan freatik terakhir yang ditunjukkan oleh gunung telah membuat para pengunjung menghapus Tangkuban Perahu dari daftar wisatanya. Itu lima tahun lalu, meskinya bisa menjadi bayangan apa saja yang mesti segera ditindak-lanjuti.

Beberapa tahun sebelumnya, gunung Tangkuban Perahu belum pernah menunjukkan aktivitas vulkanik serupa dengan jarak waktu yang dekat selama beberapa hari di lima tahun yang lalu itu.

“Belum pernah sampai empat hari beruturut-turut. Letusan ini sama dengan tahun 1829, tapi itu cuma sehari saja letusannya,” Melihat kembali catatan historinya, Isaac menambahkan kemudian.

Getaran-getaran tremor yang biasanya terjadi sebelum atau pasca letusan di Tangkuban Perahu juga berangsur berkurang.

Kondisi getaran di kawah juga sudah mulai mereda. Asap yang keluar dari dalam kawah, juga sudah mulai menipis. Meskipun untuk mengetahui kekuatan vulkanik yang diduga masih tersimpan di dalam perut bumi.

Lanjut ke: Kota Kembang – Universitas Pertamina

Share :
Previous Post
Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *