Blog Universitas Pertamina

MEMAKNAI KEMERDEKAAN

Oleh :

AM. Unggul Putranto

Jika tadi pagi kita mengikuti Upacara Bendera Perayaan Kemerdekaan RI Ke 77 di kampus, saya terkesan saat mengikuti doa yang dibawakan oleh Pak Iwan Sukarno, yang antara lain mengenang para pahlawan kemerdekaan.  Saya membayangkan tanpa mereka mungkin kemerdekaan kita ceritanya mungkin berbeda.  Bisa kemerdekaan yang diberikan oleh Sekutu, bisa pula oleh negara lain, atau yang paling ekstrim tidak ada negara Indonesia ini. Dalam menyambut kemerdekaan dengan suka cita setelah upacara seperti makan krupuk dan Tarik tambang, ungkapan para fesbuker pun bermacam-macam, banyak yang lucu, dari foto hingga meme.  Saya ingin mengutip salah satu status teman baik saya Mas Pinto “Kalau 17an ada lomba “goblok-goblokan”, yang menang itu pinter atau goblog ? Trus yang kalah pinter itu apa goblok banget kok sampai kalah?”.  Tentu ini merupakan status bercanda, tetapi mungkin juga merefleksikan sebagian realita di masyarakat kita. Kenapa ? Karena kita secara tidak sadar dicekoki oelh banyak sekali kejadian yang merupakan kontradiksi dari akal sehat.  Ambillah salah satu contoh kasus “polisi tembak polisi” yang melibatkan petinggi Polri.  Mungkin kalau itu dilombakan seperti usulan Mas Pinto tadi, paling tidak itu akan jadi salah satu kandidat juara

Status di Facebook, ciutan di tweeter dan sebagainya merupakan ekspresi kebebasan yang saat ini bisa kita lihat atau kita alami sendiri.  Saya merasa bersyukur pernah mengenyam pendidikan yang menurut saya benar-benar bebas.  Bagaimana tidak, mungkin aneh buat teman-teman yang lahir di era 1990 atau 2000, saat saya SMA sekolah saya membebaskan siswanya yang kebetulan laki-laki semua untuk berpakaian. Boleh pakai kaos, boleh tidak cukur rambut, boleh pakai sandal jepit, bahkan boleh tidak mandi.  Di beberapa pelajaran yang diampu oleh sedikit guru, bahkan boleh merokok.  Itulah sekolah saya yang dikelola oleh Ordo Jesuit, dengan nilai-nilai yang disebut Fransiskanes, yang dikenal dengan nama SMA Kolese de Britto di Yogyakarta.  Ternyata hal-hal aneh tadi ada sejarah atau latarbelakangnya.  Awalnya sekolah menerapkan aturan sama seperti sekolah lain, tetapi suatu hari ada siswa yang lebih dari seminggu tidak masuk sekolah.  Kepala Sekolah SMA yang berdiri tahun 1953 dan disingkat JB itu disebut sebagai rektor yang dijabat oleh seorang pastur.  Sehingga para murid menyebut kepala sekolahnya Romo Rektor.  Rektor yang saat itu dijabat oleh Romo Oei Tik Djoen,SJ yang mengunjungi siswa yang bolos tadi tentu saja bertanya, kenapa anak yang biasanya rajin, tiba-tiba menghilang ? Alasan yang didapat sangat mencengangkan, bukan karena sakit tetapi karena anak tersebut sepatunya jebol.  Setelah menimbang-nimbang segala konsekwensinya, diijinkanlah murid tersebut untuk dating ke sekolah mengikuti pelajaran meskipun hanya memakai sandal jepit.  Romo Rektorkemudian berpesan, sekolah menjunjung tinggi hak siswa untuk belajar tetapi kebebasan yang diberikan harus disertai dengan tanggung jawab yang juga harus dijunjung tinggi.  Tidak hanya dalam hal berpakaian.  Penekanan pada tanggung jawab tersebut, juga mendorong kebebasan-kebebasan yang lain termasuk berekspresi dan menyatakan pendapat tanpa rasa takut.  Hubungan murid dan guru pun menjadi lebih cair, dan terbawa dalam dalam kehidupan belajar mengajar sehari-hari.

Pengalaman selama 3 tahun menimba ilmu di sekolah yang “bebas bertanggungjawab” ini buat saya menjadi ruh yang terbawa sampai sekarang. 

Lukisan bergambar sandal jepit karya Nur Ilham (2015) merupakan lukisan car air di atas kertas pesanan saya yang melambangkan kebebasan

Kebebasan yang Bertanggung Jawab

Apakah nilai dari konsep kebebasan yang bertanggungjawab ini masih relevan untuk saat ini dimana sepertinya banyak diinterpretasikan berbeda, terutama sesaat setelah era Presiden Soeharto (era reformasi).  Saat itu pendapat yang berseberangan dengan kebijakan Pemerintah tidak mendapat tempat dan harus diberangus.  Kita masih ingat kelompok yang disebut Petisi 50 yang cukup fenomenal pada tahun 1980, yang berisi ungkapan keprihatinan yang ditandatangani oleh 50 tokoh terkemuka Indonesia, seperti mantan Kapolri Jendral Hoegeng, mantan Gubernur DKI Ali Sadikin dan banyak lagi.

Setelah era Presiden Suharto berakhir, seolah-olah lahirnya kabebasan mutlak.  Atas nama kebebasan, yang terbelenggu selama tiga dasa warsa, semua pernyataan pendapat seolah menjadi sah.  Akibat dari situasi ini sering kali timbul benturan-benturan yang menyebabkan ketidakstabilan, fragmen-fragmen dalam masyarakat, dan yang saya amati nilai gotong royong pun, rasanya mulai memudar akibat kotak-kotak dalam masyarakat.

Kembali pada pertanyaan tentang relevansi kebebasan yang bertanggungjawab di era saat ini, menurut saya hal tersebut tetap mutlak untuk dipegang.  Orang boleh berpendapat secara bebas di tweeter atau di facebook dan platform lain tetapi harus didasari oleh fakta, etika dan hak orang lain.  Dengan kata lain jika kebebasan tersebut berbenturan dengan hak orang lain yang juga mempunyai kebebasan, artinya kebebasan tesebut tidak bertanggung jawab.

Saya ingin memberi contoh simple kebebasan yang bertanggung jawab dalam organisasi perusahaan.  Dalam suatu organisasi tentu orang mempunyai tanggung jawab dan wewenang masing-masing yang diatur oleh suatu peraturan atau job description.  Dalam suatu rapat manajemen yang terdiri dari banyak fungsi, seorang manajer mengemukakan hasil kerja disertai dengan kajian dan rekomendasinya. Apabila ada manajer lain memberi komentar atas apa yang diajukan oleh manajer pertama, apakah itu melanggar hak si manajer pertama ?  Apakah manajer kedua yang memberi komentar atau sanggahan pada manajer yang pertama dinilai melanggar kebebasan yang bertanggung jaab ?  Penyampaian pendapat yang memberikan nilai tambah pada suatu pendapat, menurut saya bukan suatu yang salah apalagi jika hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan suatu keputusan yang secara objektif lebih baik, dan tidak bersifat memaksakan atau memaksyulkan pendapat yang lain. Penerapan kebebasan yang bertanggung jawab membutuhkan kematangan, keterbukaan dan dialog.  Ketidak-dewasaan dalam berorganisasi kadang kala direspon dengan ungkapan negatif seperti “sok tahu”, “diktator” dan sebagainya.

Filsafat Kebebasan

Saya ingin mendekati arti kebebasan ini dari filosof eksistensialisme dari Perancis, Jean Paul Satre. Teori eksistensialisme yang diusung Satre mempersoalkan “keber-ada-an” manusia seutuhnya dam eksistensi manusia tersebut diwujudkan lewat kebebasan. Filsafat eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri. Kebebasan yang berpusat pada manusia dan tanggung jawab atas kemauannya sendiri tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang salah. 

Satre terkenal dengan dictum “human is condemned to be free”, manusia dikutuk untuk bebas. Namun ini adalah pernyataan provokatif atas kondisi kebebasan manusia yang menembus klise filosifis atau keagamaan yang suka dipakai untuk melindungi diri. 

Bisa jadi dictum yang diajukan Satre tadi merupakan penentangannya atas kesewenang-wenangan Pemerintah Perancis pada saat itu.  Pendapat Satre ini menjiwai anak-anak muda Perancis saat itu yang menentang pendudukan Perancis di Aljazair.  Kebebasan itu sendiri tidak ada ketika melanggar kebebasan orang lain.

Atas nama kebebasan saat ini sangat sering kita dengar bahwa suatu pendapat dianggap benar, maka yang lain apalagi yang bertentangan adalah salah.  Jika ini terus berlarut, dialog akan mati karena tidak ada lagi media yang mempertemukan berbagai perbedaan tersebut.  Jika kita memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan, suatu teori tercipta melalui pengujian dari berbagai perbedaan.

Manajemen Partisipatif

Bagaimana implikasinya di dunia Pendidikan ?  Merujuk pada teori eksistensialisme di atas, Pendidikan harus mengembangkan iklim yang menjadikan sekolah atau kampus untuk memberikan kebebasan pada siswa atau mahasiswa suatu kebebasan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan siswa.  Kebebasan ini akan memberikan daya kreasi pada siswa. Metode-metode kuliah sewajarnya memberikan seluas-luasnya diskusi dua arah antara guru (atau dosen) dengan siswa (atau mahasiswa).

Kebebasan ini juga akan mendorong orang untuk mengembang soft skill kreatif dan keingintahuannya (curiousity).  Mahasiswa harus didorong untuk selalu kepo, tidak hanya berdasarkan pada satu teori atau pendekatan, tetapi justru mengkaji kenapa pendekatan-pendekatan tersebut berlawanan. Sifat kepo tadi akan mendorong untuk mencari lebih banyak informasi (information seeking).  Jika ini sudah menjadi habits, maka dengan sendirinya produktivitas belajar akan semakin meningkat dengan inovasi-inovasi baru.  Kita membayangkan kuliah diberikan dosen yang lebih banyak berdiskusi dengan mahasiswanya.  Kuis-kuis akan dinilai dari pendekatan-pendekatan yang berbeda dan kreatif, diskusi-diskusi kelompok akan mendominasi tugas-tugas yang diberikan dosen, ujian akan banyak diangkat dari kasus-kasus nyata.  Tidak ada lagi dosen seperti jaman saya yang hanya menulis di papan tulis, tetapi mungkin akan berdiskusi sambal duduk di meja untuk menciptakan suasana keterbukaan.

Demikian halnya di dalam organisasi (perusahaan, pendidikan), manajemen yang sifatnya partisipatif perlu dikembangkan karena akan menguji pendekatan menuju hasil dari berbagai sudut pandang.  Sebelum suatu keputusan final diambil, harus dilihat bahwa suatu pendapat merupakan sesuatu yang harus diuji kebenarannya, dan ini merupakan pengejawantahan dari kebebasan yang bertanggung jawab.   Semua anggota organisasi akan merasa memiliki peran (pada tingkatan masingmasing) menjadikan organisasinya lebih baik.  Jika ini terjadi kepuasan kerja akan meningkat dan produktivitas makin tinggi.

MERDEKA

Bogor, 17 Agustus 2022

Share :
Previous Post
Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *