Blog Universitas Pertamina

ETNOSENTRISME PADA SUKU DAYAK DENGAN SUKU MADURA

Perbedaan budaya menjadi salah satu faktor terjadinya konflik dan salah satu cara untuk menghindari adanya yaitu komunikasi. Dengan melakukan komunikasi, seseorang dapat menyampaikan pemikirannya, ide nya, pengetahuannya, dan yang lainnya. Apabila komunikasi dilakukan dengan baik, akan menghasilkan hasil yang baik juga seperti mengurangi adanya kesalahpahaman, hidup menjadi rukun, adanya timbal balik antar individu atau sekelompok individu, dan menghindari dari terjadinya konflik. Contoh konflik yang sering sekali terjadi didalam budaya yaitu Etnosentrisme.

Etnosentrisme menurut kamus Bahasa Indonesia adalah cara penilaian seseorang terhadap kebudayaan lain atas dasar nilai juga standar dari kebudayaan mereka sendiri. Orang- orang etnosentris memandang dan menilai remeh masyarakat dan kebudayaan lain. Terkhusus jika berkaitan dengan Language, Behaviour, Habits dan Religion. Etnosentrisme ialah sikap melihat unsur kebudayaan lain dengan berdasarkan kebudayaannya sendiri. Dapat dikatakan juga bahwa etnosentrisme menganggap cara hidup kebudayaan yang dianutnya ialah cara hidup yang terbaik.

Adorno (1950) dalam bukunya yang berjudul The Authoitarian Personality, mengemukakan bahwa orang-orang etnosentris ini cenderung kurang terbuka pikirannya. Kurang terpelajar, tidak memiliki banyak relasi dengan banyak orang (kurang bergaul), juga memeluk agama fanatik. Dalam pendekatan, etnosentrisme didefiniskan memiliki kesetiaan kuat juga tanpa kritik pada kelompok etnis maupun bangsa diikuti prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa lainnya. Hammond dan Axelrod (2006) memperlihatkan pada masyarakat tentang artifisial mani, model simulasi etnosentrisme. Dalam model Hammond dan Axelrod, etnosentrisme diwakili dengan tiga ciri-ciri, diantaranya ialah; (1) warna; (2) strategi in-group, dan (3) strategi out-group. Dalam Hammond & Axelrod (2006) LeVine dan Campbell juga menyatakan bahwa orang-orang etnosentrisme memiliki sikap yang cenderung melihat kelompoknya sendiri (in-group) sebagai kelompok yang paling baik dan paling unggul. Standar kelompoknya dianggap memiliki nilai universal, menyeluruh. Sementara kelompok luar (Out-Group) dinilai, dipandang sebagai kelompok yang rendah, dipandang remeh.

Bizumic (2009) berdasarkan penelitiannya yang berjudul “A cross-cultural investigation into a reconceptualization of ethnocentrism” telah memperbarui konsep etnosentrisme dan mengemukakan definisinya, ia mengungkapkan bahwa etnosentrisme sebagai sikap yang melibatkan perasaan kuat untuk lebih mendahulukan dan memntingkan kelompok etnis dan budanya sendiri dan kepentingan kelompoknya. Dapat disimpulkan bahwa etnosentrisme merupakan sikap yang menganggap, memandang budaya sendiri adalah budaya yang paling baik dari semua budaya. Seseorang yang etnosentris memiliki kepribadian (personality) yang tertutup dan memandang budaya luar sebagai kelompok rendah, kecil, dan bukan apa-apa.

Etnosentrisme adalah konsep halus yang digunakan oleh berbagai disiplin ilmu dan individu dalam beragam, cara yang tidak konsisten, dan tidak kompatibel. Etnosentrisme biasanya didefinisikan sebagai semacam etnik atau budaya egosentrisme kelompok, yang melibatkan keyakinan akan superioritas kelompoknya sendiri, termasuk kelompoknya nilai dan praktik, dan seringkali penghinaan, kebencian, dan permusuhan terhadap orang-orang di luar kelompok. Meskipun fokus etnosentrisme paling sering adalah kelompok etnis atau budaya, penggunaan tertentu dari etnosentrisme mengacu pada banyak, atau bahkan semua, jenis kelompok. Konsep etnosentrisme pada awalnya digunakan oleh sosiolog dan antropolog, tetapi seiring waktu disiplin lain telah mengadopsi dan menggunakannya secara luas. Namun demikian, terlepas dari penggunaan yang luas (atau mungkin karena itu), etnosentrisme telah
menjadi konsep yang halus, dengan bervariasi, longgar, dan tidak konsisten penggunaan. Etnosentrisme sering dikelompokkan bersama bahkan digunakan secara bergantian, dengan konsep-konsep seperti: rasisme, nasionalisme, diskriminasi, prasangka, juga xenofobia. Seperti konsep terkait ini, etnosentrisme dianggap sebagai fenomena yang sangat tidak diinginkan. Oleh karena itu, fungsi utama dari sebagian besar penggunaan etnosentrisme adalah untuk membuatnya sebagai negatif, salah, berbahaya, dan keharusannya adalah untuk menghindari, mengurangi, dan menghilangkannnya.

Secara umum, dua kekeliruan konseptual telah mempengaruhi studi etnosentrisme. Kekeliruan pertama mengacu kecenderungan untuk menggunakan konsep etnosentrisme untuk menunjukkan fenomena yang beragam dan tidak terkait. Untuk misalnya, etnosentrisme bagi sebagian orang adalah evaluasi positif terhadap kelompoknya sendiri (Turner et al. 1987), dan bagi yang lain itu adalah sikap anti-minoritas yang bermusuhan (Altemeyer 2003). Kekeliruan kedua berkaitan dengan kecenderungan untuk mempelajari fenomena etnosentrisme dengan menggunakan konsep yang berbeda. Tidak memiliki keraguan lagi penggunaan awal yang luas, tidak tepat, dan longgar itu membuat etnosentrisme memiliki arti yang berbeda bagi disiplin dan individu yang berbeda. Oleh karena itu, selain kepentingan sejarah, penting juga untuk memahami penggunaan asli etnosentrisme sebagai ini telah memengaruhi sebagian besar
penggunaan di masa mendatang.

Adapun dampak dari adanya etnosentrisme, ialah; etnosentrisme memiliki dua tipe didalamnya, yaitu; fleksibel dan infleksibel. Dalam bahasa lain dapat dikatakan juga memiliki sifat positif dan negative (Brown, 1986). Untuk dampak positif atau fleksibel dari etnosentrisme ialah; etnosentrisme dapat mempengaruhi tingginya semangat patriotisme, mempertinggi rasa cinta pada bangsa dan kebudayaan sendiri dan menjaga keutuhan stalbilitas dan budaya yang dianutnya. Sedangkan dampak negatif atau infleksibel dari etnosentrisme, antara lain; etnosentrisme dapat menyebabkan konflik antar suku budaya, adanya aliran politik dan menghambat proses asimilasi budaya (yang memiliki budaya yang berbeda).

Etnosentrisme Suku Dayak

Kasus tentang etnosentrisme masyarakat suku Dayak dengan masyarakat suku Madura yang terjadi pada tanggal 18 Februari memunculkan beragam konflik. Sebagai contoh, kasus warga suku Dayak dengan warga suku Madura di lokasi Sampit. Lokasi tersebut adalah lokasi yang bisa digunakan sebgai masukan bagi adanya upaya memulihkan keharmonisan hubungan dari antar etnik. Adanya penerimaan warga Sampit terhadap keberadaan warga etnis Madura yang menemukan etnosentrisme di kawasan Sampit. Di Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan, dihebohkan dengan fenomena tersebut, yang mengakibatkan lebih dari 500 orang meninggal dunia dan 1.335 warga etnis Suku Madura diharuskan mengungsi. Di mana pemberitaan yang beredar bahwa akan terjadi konflik antara
kedua suku tersebut (Suku Dayak dan Suku Madura).

Di dalam media sosial yang berlaku juga beredar berita dan pesan bahwa akan terjadi perang antara kedua suku tersebut, dan hal itu pula disandingkan dengan provokasi-provokasi perang. Sebelum adanya berita itu beredar, kasus tersebut telah didasari karena adanya kesalah pahaman komunikasi (miss communication) yang menimbulkan konflik. Dari kasus tersebut, tentulah kasus tersebut merembet ke kasus-kasus lainnya, hingga membawa nama etnis. Seiring berjalannya waktu, kasus tersebut makin heboh dengan adanya spanduk ancaman dan isu serangan terhadap masyarakat etnis Suku Madura. Hal tersebut juga merebak ke seluruh wilayah Banjarmasin dengan adanya motif dari pelaku karena permasalahan ketersinggungan yang pada akhirnya, muncul negosiasi antara tokoh suku Dayak dengan tersangka Suku Madura yang akan dijerat hukum yang positif, serta menjalankan hukum adat dari Dayak Ngaju. Hal tersebut tidak digelar sekali saja, bahkan tiga kali dalam waktu seminggu. Namun hal tersebut dilakukan agar meredam kerusuhan yang terjadi secara lebih luas.

Berdasarkan contoh kasus yang dijelaskan maka kelompok kami akan menganilisis dengan melaui 2 metode yaitu metode six journalist question dengan fishbone diagram:

  • What: Apa konflik yang terjadi diantara suku Dayak dan suku Madura?
    Diantara suku Dayak dan Madura telah terjadi sebuah konflik yang disebut dengan nama konflik sampit. Konflik sampit merupakan sebuah konflik terpecahnya kerusuhan yang terjadi di antara suku yang ada di Indonesia. Konflik ini pada awalnya terjadi pada daerah Kalimantan Tengah tepatnya pada Kota Sampit. Namun, kemudian konflik ini meluas hampir ke seluruh provinsi tidak terkecuali dengan Ibu Kota Palangka Raya.
  • Where: Di mana konflik Sampit ini terjadi?
    Konflik Sampit terjadi pada daerah Kalimantan Tengah yaitu pada Kota Sampit yang kemudian konflik ini menjadi lebih luas dan memasuki hampir kesuluruh provinsi termasuk degan Ibu Kota Palangka Raya, Kota Sambas, dan Kota Pontianak.
  • When: Kapan konflik Sampit mulai terjadi dan berakhir?
    Konflik ini mulai terjadi pada tahun 2001 yang mengakibatkan masyarakat Suku Madura kembali pada kampung halamannya. Konflik ini bermulai pada 18 Februari 2001 pada saat dini hari yaitu sekitar pada jam 00.30 WIB akibat dari mulaianya penyerangan serta pembunuhan terhadap empat orang keluarga yang berasal dari Suku Madura. Konflik Sampit mulai berakhir pada tanggal 28 Februari 2001, anggota militer mulai berhasil membubarkan Suku Dayak yang berada dijalanan.
  • Who: Siapa yang terlibat dalam terjadinya konflik tersebut?
    Orang yang terlibat dalam terjadinya konflik ini adalah para masyarakat yang berada dari Suku Dayak dan Masyarakat dari Suku Madura yang bermigran ke Pulai Kalimantan Tengah.
  • Why: Kenapa konflik ini dapat terjadi diantara Suku Dayak dengan warga migran Suku Madura?
    Konflik sampit ini dapat terjadi karena adanya pertentangan budaya yang terjadi di antara kedua etnis tersebut. Yang mana etnis Dayak dan Madura sering berlawanan serta tidak mampu untuk berakulturasi satu sama lain dengan baik. Masyarakat yang berada dari suku Madura cenderung memiliki kehidupan yang berkelompok dengan sesama masyarakat Madura itu sendiri. Kondisi dari konflik ini juga didorong dengan melalui faktor kondisi ekonomi di Kalimantan Tengah yang terkait dengan perebutan dana yang dimana hal tersebut masyarakat dari Suku Dayak merasa tersingkirkan di daerah tempat tinggalnya sendiri dan merasa bahwa masyarakat Suku Madura lebih sukses didaerah yang merupakan tanah asli dari Suku Dayak. Tidak hanya itu, kerap beberapa kali warga pendatang merebut tanah dan lahan miliki Suku Dayak. Hal ini yang pada akhirnya membuat Suku Dayak menjadi berpikiran negatif terhadap Warga migran Suku Madura. Namun, hal tersebut lebih bertambah parah karena terdapat Lembaga penegak hukum yang memperlakukan kedua etnis itu dengan tidak adil satu sama lain saat pertikaian mulai terjadi serta struktur politik yang lemah yang menyebabkan munculnya rasa kecewa bagi masyarakat Suku Dayak yang pada akhirnya turut menjadi faktor pendorong terjadinya konflik sampit diKalimantan Tengah. Konflik ini dapat terjadi karena munculnya deprivasi yang mendorong rasa frustasi dari Warga Dayak serta rasa frustasi dari mereka karena sistem dari pemerintah yang tidak dapat berlaku adil untuk mereka yang walupun hal tersebut terjadi pada tanah kelahiran mereka sendiri. Dan pada akhirnya rasa frustasi tersebut dilimpahkan kepada Warga Madura sebagai musuh yang jelas bagi masyarakat Dayak.
  • How: Bagaimana konflik ini terus meluas di antara etnis Dayak dan Madura?
    Konflik ini terus menjadi semakin luas karena diiringi dengan aksi balas dendam dari masyarakat etnis Madura yang dimana empat keluarga dari suku tersebut telah dibunuh oleh masyarakat Suku Dayak. Alasan suku Dayak melakukan hal tersebut adalah karena warga dari Suku Dayak merasa kurang senang apabila tanah kelahirannya sendiri telah didominasi oleh etnis lain. Selain itu, konflik ini terus berlangsung saat terdapat beberapa rumah dari etnsi Dayak terbakar dan menurut rumor yang beredar dalang dibalik kebakaran tersebut adalah berasal dari etnis Madura. Setelah itu beberapa saat kemudian Etnis Dayak membalas dengan membakar rumah dari etnis Madura. Dijelaskan pula terdapat beberapa warga dari etnis Dayak yang disiksa oleh warga etnis Madura setelah terjadinya kericuhan judi di Desa Kerengpangi yang terjadi pada 17 Desember 2000.

Berdasarkan pemaparan di atas, ada beberapa sub-causes yang kemudian mendorong terjadinya konflik sampit antar suku Dayak dan Madura.

  • Yang pertama adalah dari sisi material.
    Media sangat berperan aktif dalam menyebarluaskan persoalan yang terjadi antar suku Dayak dan Madura. Adanya penyebarluasan tersebut tentu memungkinkan terpaparnya ragam masyarakat dengan paradigma yang berbeda. Dengan adanya kemajemukan tersebut, timbulah beberapa kubu yang secara garis besarnya bisa dibagi menjadi 4: mereka yang memihak suku Dayak, mereka yang memihak suku Madura, mereka yang bersifat netral, dan mereka yang tidak mempedulikan masalah tersebut. Adanya keberagaman tanggapan mengenai konflik sampit ini tentu memberikan feedback bagi masing-masing pihak (suku Dayak dan Madura). Terlebih dalam menanggapi kubu masyarakat yang membela salah satu suku tersebut. Dengan adanya hal itu, semakin timbul rasa ingin memperlihatkan power serta intuisi untuk membuktikan bahwa salah satu suku tersebutlah yang paling benar.
  • Yang kedua ialah equipment
    Ini mengenai peralatan apa yang kemudian bisa membantu melancarkan konflik tersebut. Ada satu equipment krusial yang menjadi sorotan utama dalam konflik ini, yaitu senjata tajam. Penggunaan senjata tajam ini mampu merambat kepada persoalan kriminalitas terlebih ada ditemukan korban jiwa akibat dampak dari terjadinya konflik sampit. Penggunaan senjata juga memperlihatkan bahwa antar suku saling menunjukkan rasa ketidaksukaan yang melampaui kadar seharusnya dan terkesan untuk memang mendeklarasikan peperangan antar dua suku. Hal tersebut didorong dengan dipasangnya sanduk-spanduk yang memprovokasikan kepentingan masing-masing untuk kemudian bisa saling menjatuhkan satu sama lain.
  • Yang ketiga, process
    Hal-hal yang aktif yang dilakukan oleh para pelaku konflik sehingga mengarahkan persoalan ke arah yang lebih chaos. Yang pertama ialah dilakukannya provokasi. Provokasi ini sangat berpengaruh dalam mempermainkan cara pandang seseorang serta mampu menggerakan emosi. Dengan adanya provokasi, pemikiran yang tidak selaras terhadap penyampaian provokasi akan balik menyerang dengan amarah dan ketidaksetujuan. Hal tersebut kemudian saling memancing kedua suku untuk melempar kebencian satu sama lain. Aksi vandalisme dan juga kekerasan terhadap warga yang dilakukan oleh suku Dayak juga menjadi bom waktu yang justru semakin memperkeruh keadaan.
  • Keempat, people
    Terkait dengan para pelaku konflik yang ada. Oleh sebab perbedaan budaya, berbeda juga ara tiap suku dalam menyikapi sebuah persoalan. Akan tetapi karena didukung rasa etnosentris yang terlalu tinggi, kedua suku lebih mengedepankan kepentingan masing-masing ketimbang peredaan situasi. Faktor lainnya yang menjadi penyebab sub-cause people ialah adanya kebijakan yang dianggap tidak terlalu menguntungkan bagi salah satu suku (pada kasus ini ialah suku Dayak), sebab terdapat hukum baru juga telah memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial di provinsi tersebut, seperti perkayuan, penambangan, dan perkebunan. Timbulah rasa ketidakadilan didukung dengan etnosentris dari budaya suku Dayak untuk menunjukkan bahwa suku Dayak bisa lebih baik daripada suku Madura untuk menerima hukum yang menurut mereka memberikan ketimpangan yang sangat kentara.
  • Yang terakhir ialah environment.
    Lingkungan yang sudah terdapat ketegangan antar dua suku sama sekali tidak dapat membantu untuk meredakan konflik yang ada. Kembali sesuai poin sebelumnya, ini dikarenakan kurangnya toleransi antar suku yang tinggal dalam satu daerah yang sama. Oleh karena hal tersebut, terjadi kekacauan dalam lingkungan antar suku seperti kerusakan rumah-rumah warga karena vandalisasi, serta timbulnya ketidakharmonisan yang merusak iklim antar kelompok suku.

Berdasarkan analisis tersebut, bisa ditarik benang merahnya bahwa adanya perilaku etnosentris yang tidak bisa saling bertoleransi terhadap budaya satu sama lain menjadi pemicu utama mengapa konflik tersebut bisa terjadi. Kurangnya kesadaran untuk lebih memilih kepentingan bersama dan menjaga keharmonisasian hubungan antar dua suku yang tinggal dalam satu daerah membuka jalan bagi terjadinya kompetisi untuk saling memperebutkan kepentingan kelompok.

DAFTAR PUSTAKA

Steven A. Beebe , John T. Masterson, 1982, Communicating in Small Groups
Principles and Practices, Texas State University, 501 Boylston Street, Suite 900,
Boston, Pearson Education, Inc.

Littlejohn, S.W. 1996. Theories of Human Communication. Fifth Edition. Wadsworth
Publishing Company, Part III, Chapter 12.

Gudykunst, B.W & Kim, Y. Y. 2003. Communicating with Stranger : An Approach to
Intercultural Communication. Fourth Edition. McGraw-Hill Higher Education,
Chapter 11.

Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Sikap Terhadap Perkawinan Campur,
http://repository.untag-sby.ac.id/533/4/BAB%202.pdf,. Diakses pada 20 Agustus
2021, pukul 21.20

Boris Bizumic (2015) Ethnocentrism
https://www.researchgate.net/publication/290997274_Ethnocentrism. Diakses pada 20
Agustus 2021, pukul 21.10

David Hales (2018) Intragenerational Cultural Evolution and Ethnocentrism,
https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/0022002718780481. Diakses pada 20
Agustus 2021, pukul 21.40.

Gandhy Androfo, Muzahid Akbar Hayat, Khuzaini, 2020, Komunikasi antar Budaya
dalam Konflik antar Suku serta Penyelesaiannya pada Suku Dayak dan Madura di Kota
Banjarmasin, Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari, http://eprints.uniskabjm.ac.id/4431/1/ARTIKEL%20TESIS%20GANDHY%20ANDROFO-converted.pdf, diakses pada 21 Agustus 2021, pukul 09.30.

Widyananda, Rakha Fahreza, Kamis, 18 Februari 2021, Mengenang Peristiwa 18
Februari Kerusuhan Sampit, Pertikaian Suku Dayak dan Madura, https://m.merdeka.com/amp/jatim/peristiwa-18-februari-terjadinya-kerusuhan-sampit-pertikaian-suku-dayak-dan-madura-kln.html , diakses pada 21 Agustus 2021, pukul 10.50

Share :
Previous Post
Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *