Blog Universitas Pertamina

Logistik Militer

Awalnya dari iseng dan penasaran. Tahun 2022 ini, selain pandemi masih belum berlalu, isu global bertambah dengan terjadinya perang antara Rusia dan Ukraina. Diskusi saya dengan rekan dari Prodi Hubungan Internasional Universitas Pertamina, skala ketegangan antara Rusia dan Ukraina ini sepertinya sudah naik level dari konflik bersenjata menjadi perang meskipun beberapa penulis menarasikannya sebagai invasi Rusia ke Ukraina atau invasi Ukraina oleh Rusia. Tapi yang ingin saya ceritakan di sini, meskipun terkait konflik dua negara bekas Uni Soviet ini, bukan mengenai isu keamanannya, geopolitik, ataupun neo-nazinya melainkan ekstensinya pada area logistik militer.

Awalnya karena newsfeed di berbagai media yang sering saya kunjungi, menyajikan update harian, jam-jaman bahkan live streaming kondisi sengketa bersenjata kedua negara ini. Yang awalnya saya tidak begitu tertarik, akhirnya lihat-lihat juga dan kemudian menemukan berita mengenai merangseknya tank-tank Rusia ke kota-kota di Ukraina. Video penyertanya menampilkan barisan tank maju melewati desa dan kota di Ukraina dengan tujuan menguasai wilayah lawan. Memperhatikan bahwa tank-tank ini sepertinya tidak termasuk kendaraan “green” ataupun “sustainable” yang menggunakan tenaga surya lalu mengkonversinya menjadi energi gerak, membuat saya bertanya-tanya, dimana mereka mengisi bahan bakar saat dibutuhkan? Bahkan jika tank-tank ini memanfaatkan bahan bakar biofuel yang entah dari sawit, jagung, ataupun tanaman lainnya, mereka akan tetap perlu melakukan pengisian ulang tanki kendaraan disatu atau lain waktu. Bahkan lagi, jika tank-tank ini menggunakan sumber daya semacam baterai yang detachable, tetap saja disatu titik, penggantian “baterai” harus dilakukan dimana “baterai” yang baru berasal atau diambil dari dari fasilitas yang menyimpan persediaannya (inventory), yang di dunia industri disebut sebagai gudang (warehouse). Bahkan (lagi) jika “baterai” ini bisa diisi ulang sebagaimana baterai handphone atau notebook maka perlu juga ada station pengisiannya, yang menyimpan “inventory” kelistrikan. Sependek pencarian saya sepertinya tank-tank ini belum sampai memanfaatkan energi yang ramah lingkungkan melainkan masih menggunakan bahan bakar tradisional seperti klasiknya rata-rata kendaraan bermotor di Indonesia, yang secara berkala perlu diisi tanki bahan bakarnya dengan BBM yang sesuai pilihan. Maka begitu pula tank-tank militer ini, yang setelah menempuh perjalanan sekian mil atau kilometer, perlu dilakukan refuelling agar tetap berfungsi sebagaimana peruntukannya. Tentunya agak lucu jika refuelling tank militer yang tengah menginvasi suatu wilayah, “menumpang” mengisi bahan bakar di stasiun pengisian lokal. Jika digali lebih lanjut, sepertinya memang ada mekanisme tertentu yang memungkinkan tank-tank militer on operations ini dapat melakukan refuelling sambil tetap “on” di medan tempur. Beberapa portal berita yang membahas mengenai hal ini, dapat juga kita temukan, salah satunya misalnya yang ditulis oleh Grayham pada tahun 2016 dengan judul “Maintaining Momentum through Refuel on the Move”. Grayham menuliskan “Refuel on the move (ROM) allows a unit to sustain long distance movements and is normally found at the end of an approach march from the corps support area to the division tactical assembly area.”, yang kurang lebih menyampaikan adanya stasiun pengisian bahan bakar yang ikut bergerak bersama rombongan kendaraan militer yaitu di barisan belakang. Di sini kita bisa lihat betapa pentingnya isu terkait refuelling kendaraan militer, yang menurut sumber lain disebutkan bahkan dapat dilangsungkan secara rolling saat tank rekan menggempur lawan. Sehubungan dengan ini, saya semakin tertarik untuk tahu hal-hal yang terkait logistik kemiliteran, misalnya seberapa banyak inventory yang dibawa “march warehouse unit” untuk memastikan ROM berjalan lancar? Berapa lama inventory tersebut dapat menyuplai kebutuhan kendaraan militer dalam march tersebut? Berapa banyak kendaraan militer yang dapat di-refuel dengan inventory sekian? Bagaimana mekanisme “replenishment” sumber inventory ini? Apakah dunia logistik militer juga mengenal istilah lead time sebagaimana umum didunia industri? Jika iya, seperti apa sistemnya? Lalu bagaimana optimasi logistik militer bisa dilakukan? Dan tentunya masih banyak lagi hal lainnya yang masih menjadi pertanyaan untuk saya. Saat ini saya masih dalam tahap mencoba mengajak rekan dosen dan mahasiswa untuk melakukan penelitian terkait logistik militer ini namun memang kendalanya adalah pada ketersediaan data dan narasumber. Saya menemukan satu journal paper yang relatif baru yang membahas mengenai logistik militer dimana tahapan data collection-nya dilakukan melalui wawancara dan diskusi dengan narasumber ahli dari NATO. Nah, mungkin ada yang mau mencoba berkolaborasi melakukan penelitian terkait logistik militer ini?

Share :
Previous Post
Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *