Blog Universitas Pertamina

Menggali Potensi Daerah : Strategi Pengembangan Ekonomi Masyarakat

Bicara tentang kekayaan budaya Indonesia tentu tidak akan ada habisanya. Tiap daerah mempunyai kekhasannya masing-masing, dari makanan, minuman, pakaian, tarian, musik dan lain sebagainya.   Kalau orang membayangkan cemilan Padang, pasti yang dicari rendang atau keripik baladonya.   Jika orang mencari ukiran untuk perabot rumah tangga dari kayu, salah satu yang dilirik adalah Jepara. Atau jika ibu-ibu mencari kain songket di market place, pasti akan mencari songket Palembang.  Pertanyaan yang menggelitik saya apakah kekhasan daerah tadi sudah membuat masyarakat “terangkat” kehidupannya ? 

Ketika pedagang kaki lima di Malioboro Yogyakarta belum direlokasi, kita akan mudah menemukan berbagai pakaian mulai dari baju, rok, daster, topi dan lain-lain.  Berapa yang diterima penjahit untuk sepotong daster ?  Mungkin Anda akan terkejut, karena mereka hanya menerima tidak lebih Rp 20 ribuan.  Ironis bukan.  Mungkin kita perlu merenung, bagaimana kita di universitas bisa berbuat lebih kepada masyarakat yang mempunyai potensi yang luar biasa tadi.  Melalui salah  satu Tri Dharma Perguruan tinggi, yaitu Pengabdian Masyarakat, kita bisa berbuat banyak.

Pertemuan dengan Teman Alumni yang Menginspirasi.

Kurang dari dua tahun lalu saat saya masih di Pertamina Foundation, saya ketemu dengan kakak kelas saya saat di Psikologi UGM, Mbak Chandra Kirana Prijosusilo yang akrab dipanggil Mbak Kiki. Dia adalah pimpinan Yayasan Sekar Kawung.  Pengalamannya sebagai staf ahli Kementerian Lingkungan Hidup saat dipimpin oleh Pak Emil Salim, membentuknya menjadi pegiat yang peduli terhadap lingkungan.  Yayasannya banyak terlibat dalam pendampingan masyarakat terutama yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan budaya. 

Salah satu kegiatan yang sangat inspiratif yang dilakukan oleh Mbak Kiki adalah ketika dia dan temn-teman Yayasan Sekar Kawung mendampingi masyarakat penenun di Sumba untuk merubah cara mem mehuat tenun mereka dari benang sintetis dan pewarna kimia, menjadi menggunakan benang dari kapas hutan yang dikembangkan masyarakat sendiri dan pewarna alam dari aneka tanaman yang tumbuh di pekarangan mereka.

Bukan tanpa alasan Mbak Kiki mendorong masyarakat di Sumba Timur sebagai pilot project kegiatan yang bersahabat dengan alam ini.  Selain diajari teknik pembuatannya, masyarakat juga ditunjukkan peluang yang dapat membuat terangkat ekonominya, dan tentu agar alam lebih terpelihara.  Dikatakan oleh Mbak Kiki, masyarakat di Eropa sangat menghargai produk-produk ramah lingkungan, dan mau membayar dengan harga tinggi untuk produk yang diproses dan menggunakan bahan-bahan yang berasal dari alam.  Dalam satu kesempatan pada tahun 2015 Sekar Kawung bekerjasama dengan KBRI Norwegia mengajak beberapa pengrajin yang dibina mengikuti pameran bertajuk Green Indonesia di Reislivmessen Norway untuk memamerkan produknya.  Salah satu yang berangkat adalah maestro tenun ikat Sumba Timur, Pak Kornelis Ndapakamang, pengrajin dari desa Lambanapu, Kabupaten Sumba Timur. Tujuan dari pameran tersebut adalah mendekatkan pengrajin dengan konsumen secara langsung. Buat para fashion designer di sana, kain tenun ikat dari Sumba Timur memiliki penggemarnya sendiri.   Konsistensi Pak Kornelis melatih SDM di daerahnya untuk melestarikan tenun ikat berbahan alam, menarik  perhatian Gubernur NTT  yang kemudian mengajaknya mengikuti pameran budaya di Inggris pada tahun 2019.

Berbicara tentang kain tenun tradisional Sumba Timur sendiri, sarat dengan sejarah yang unik.  Ada motif “Raja” yang bahkan tidak boleh dilihat oleh orang dari luar daerah, karena mereka kuatir akan ditiru dan dibuat secara massal. Motif-motif binatang umumnya berbentuk tokek, cicak, biawak, burung merak, tetapi ada juga yang agak seram yaitu motif tengkorak yang menceritakan sejarah peperangan heroik mengusir penjajah di masa lalu. Didampingi oleh Mbak Kiki yang sudah dianggap tetua di desanya, Pak Kornelis yang cukup aktif memposting koleksinya di Instagram, menceritakan pada saya proses pembuatan tenun yang dimulai dari pembuatan pola, pewarnaan benang, penenunan hingga pengeringan.  Pewarna alam yang digunakan berasal dari beraneka macam tumbuhan, seperti nila untuk warna indigo, akar mengkudu, kayu kuning, kayu mahoni dan lain-lain.  Pak Kornelis mengatakan bahwa untuk membuat satu motif yang rumit dibutuhkan waktu minimal 1 bulan, bahkan ada yang harus dikerjakan hingga 6 bulan.  Ketika mengadakan pameran di Norwegia, salah satu kain terbaiknya dihargai di atas Rp 40 juta.

Sebenarnya kalau bicara tentang kain tenun, tidak hanya ada di Kabupaten Sumba Timur, tetapi di berbagai daerah di Nusa Tenggara Timur mempunyai kain dengan motif yang sangat beragam dan khas.  Sebutlah dari Komodo, Pao, Kanbera, Timor, Flores, Sumba Barat dan sebagainya.  Kain tenun tidak lepas dari adat istiadat di sana. Ada kain yang hanya dipakai saat perkawinan, ada juga yang digunakan sewaktu menghadiri memakaman adat.  Kain yang digunakan untuk menghadiri undangan raja dan rakyat biasa, kain yang umumnya berbentuk sarung pun berbeda motif dan warnanya.

Saat bertemu dengan Bupati Sumba Timur Bapak Kristofel Praing, beliau menyampaikan banyak tantangan dalam pengembangan kain tenun ikat dengan bahan yang ramah lingkungan.  Beberapa tantangan yang dihadapi para pengrajin, mereka harus membayar lebih mahal, memerlukan waktu yang lebih lama dan pasar yang lebih sempit.  Sehingga mereka lebih memilih yang praktis, benang dan pewarna dari bahan kimia, bahkan menggunakan mesin dalam proses penenunannya.  Dengan demikian harga yang mereka peroleh pun, relatif rendah. Kita bisa menemukan satu sarung “tenun” dengan harga hanya Rp 500 ribu, dibandingkan tenun ikat dengan pewarna alam yang dihargai puluhan juta rupiah.

Mengembangkan Strategi Pengabdian Masyarakat

Pendampingan yang dilakukan Mbak Kiki di Sumba Timur tadi bisa menjadi inspirasi mengembangkan strategi pengabdian masyarakat yang lebih fokus pada peningkatan ekonomi masyarakat.  Teknologi, knowledge, manajemen pemasaran, logistik, membantu penerbitan katalog dan patent produk, dan jaringan yang dimiliki Universitas Pertamina bisa menjawab kebutuhan nyata yang ada di masyarakat.  Keterlibatan industri baik di lingkungan Pertamina Group maupun di perusahaan lain, kementerian,  pemerintah daerah dan yayasan bisa menggerakkan dharma ketiga dari Tri Dharma Perguruan Tinggi ini.  Kita juga harus menghindari hasil karya pengrajin justru dinikmati oleh pedagang sebagai perantara, misalnya dengan pameran yang mempertemukan pengrajin dengan penggunanya.  Dosen dan mahasiswa dapat menjadi katalisator penggerak ekonomi rakyat. Masyarakat tidak akan merasa sebagai objek untuk uji coba, tetapi menjadi subjek yang bertanggung jawab atas masa depan mereka sendiri.  Banyak peran yang bisa diambil oleh Pengmas Universitas Pertamina dalam memajukan potensi daerah, seperti desain produk, proses, teknologi raw material, pengelolaan limbah dan sebagainya.

Mungkin kita akan kaget jika masuk ke hutan di pedalaman Sumatera atau Kalimantan dimana buah kluwek atau kepayang  (nama latin : pangium edule) yang kita kenal sebagai bumbu rawon atau brongkos yang terkenal di masyarakat Jawa, atau masakan Betawi  legendaris gabus pucung, banyak yang terbuang percuma dengan jumlah yang sangat besar.  Seperti diceritakan oleh Mbak Kiki ketika mendampingi masyarakt di Jambi, aneka rempah yang terdapat di alam negeri kita tercinta tidak akan kalah dengan bahan yang ada dalam satu bungkus kecil bumbu tomyam yang terkenal dan menjadi trademark masakan Thai serta banyak disajikan di restoran di Jakarta.  Tentu perlu upaya bersama untuk menggali potensi daerah yang mampu meningkatkan ekonomi masyarakat.   Alangkah senangnya membayangkan Gordon Ramsay berbicara di Universitas Pertamina, menceritakan nikmatnya bumbu masak Nusantara yang siap bersaing dengan tomyam.

Bogor, 28 Februari 2022

Share :
Previous Post
Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *