Blog Universitas Pertamina

Ketokohan Semar pada Masyarakat Jawa

Wayang bagi masyarakat Jawa merupakan salah satu ritual yang akan digelar untuk menyambut peristiwa-peristiwa khusus.  Secara harafiah wayang bisa diartikan sebagai bayangan, tetapi arti yang lebih hakiki juga berarti bayangan kehidupan manusia.  Saat saya masih kuliah, pertunjukan wayang kulit digelar tiga hari tiga malam di tempat KKN saya di Desa Kramat, Temanggung, menyambut hajatan sunatan anak kepala desa.  Aneh juga kalau dipikir, penontonnya hanya beberapa gelintir dan dalangnya pun berganti-ganti.  Di Yogyakarta, sampai saat ini masih digelar pertunjukan wayang kulit semalam suntuk di Sasana Hinggil, Alun-alun Selatan.  Di beberapa acara besar, misalnya menjelang pemilu atau pilihan kepala desa, sering diadakan pertunjukkan wayang kulit yang menceritakan atau memberi pesan kedamaian. Ini menunjukkan wayang kulit terutama, karena ada juga wayang orang, mendapat tempat di hati masyarakat. Namun di sini saya ingin bercerita tentang salah satu tokoh wayang, yang bahkan seperti mendapat “penghormatan” khusus yaitu Semar.  Siapakah Semar, seperti apa penghayatan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari terhadap tokoh ini ?

Jika kita menonton pertunjukkan wayang kulit, sebenarnya Semar and his gang, yaitu para punakawan anak-anaknya yaitu Gareng, Petruk dan Bagong, hanya muncul saat goro-goroGoro-goro paling ditunggu penonton, karena apapun lakon wayangnya, goro-goro selalu ada, dan banyak penonton yang bangun atau minta dibangunkan temannya saat goro-goro berlangsung. Karena di situlah “hiburan” yang sesungguhnya disuguhkan.  Kekonyolan, selisih paham antar punakawan, kelucuan, kritik pada bendoro-nya disajikan oleh sang dalang sampai membuat penponton terpingkal-pingkal.  Kalau anak-anak Semar ribut dan berkelahi, pasti bapaknya turun tangan dengan nasehat-nasehat yang cespleng.  Para punakwan tidak takut untuk mengkritik tuannya misalnya Wrekudoro meskipun mereka tahu bendoronya itu punya senjata sakti mandraguna Kuku Pancanaka, yang bisa meleburkan mereka kalau mau.

Alkisah sebelum ada penciptaan, di alam kadewatan berkuasa dewa dari segala dewa, Sang Hyang Wenang namanya.  Dia beranak satu laki-laki yang bernama Sang Hyang Tunggal. Sementara di dunia lain yaitu kerajaan jin, dipimpin oleh Begawan Rekatama, yang mempunyai seorang putri yang cantik jelita, Dewi Rekatiwi.  Tidak disebutkan dalam kisah-kisah siapa yang jadi mak comblang antara dua kerajaan itu, tetapi Sang Hyang Wenang dan Begawan Rekatama sepakat untuk mengawinkan putra dan putri mereka.

Setelah perkawinan mereka, Dewi Rekatiwi mengandung, dan sungguh mengejutkan karena yang keluar dari Rahim Dewi Rekatiwi bukan manusia tetapi sebutir telur.  Telur dari rahim Dewi Rekatiwi tidak langsung pecah, tetapi terbang melesat tinggi dan jatuh di hadapan Sang Hyang Wenang.  Saking saktinya ia langsung tahu dari manakah telur itu berasal, dan dia sangat sedih menerima kenyataan bahwa cucunya sendiri adalah sebutir telur.  Tetapi sebagai dewa segala dewa, disabdakannya telur itu menjadi makluk yang tentu saja sakti mandraguna. Kulit telur menjadi anak laki-laki yang ganteng, dinamakan Sang Hyang Antaga, Putih telur disabdakan menjadi bayi yang dinamakan Sang Hyang Ismaya. Dan kuning telur juga menjadi bayi laki-laki yang bernama Sang Hyang Manikmaya.   Mereka bertiga tumbuh menjadi pemuda yang gagah, tampan dan pintar, yang bayangan saya seperti Lee Jong Suk atau Song Joong Ki. Maklum mereka anak-anak para dewata.

Pada perkembangannya menginjak dewasa anak-anak ini saling bertengkar tentang siapa nanti di antara mereka yang akan menggantikan ayahandanya, Sang Hyang Tunggal.  Masing-masing merasa yang paling berhak. Sang Hyang Ismaya merasa lebih berhak daripada Sang Hyang Antaga yang hanya berasal dari kulit.  Sementara Sang Hyang Antaga berdalih apakah saudara-saudaranya akan selamat kalau tidak dilindungi oleh kulit.  Akhirnya Sang Hyang Manikmaya mengusulkan sayembara.  Tanpa sepengatahuan ayahandanya, dia mengusulkan sayembara kepada kedua saudaranya siapa yang bisa menelan Gunung Garbawasa yang lebih besar dari Gunung Mahameru.  Keduanya menyanggupi.  Yang pertama maju adalah Sang Hyang Antaga, ditelannya gunung raksasa itu. Dia berhasil menelannya, tetapi saking besarnya akibatnya dia tidak bisa bernapas, dan akhirnya dimuntahkannya gunung besar itu, yang berakibat robek mulutnya.

Setelah percobaan saudaranya, kini giliran Sang Hyang Ismaya menelan Gunung Garbawasa.  Juga karena kesaktiannya, setelah berdoa dengan khusyuk gunung itu dapat ditelan Sang Hyang Ismaya, namun dia juga mengalami komplikasi. Gunung tersebut tidak bisa dikeluarkan dari perutnya,dan saking beratnya turunlah gunung di dalam perutnya memenuhi perut dan pantatnya.  Dan ia menjadi sering sembelit dan sering buang angin yang baunya busuk, yang kelak menjadi salah satu kesaktiannya, kentut Semar.  Dia sadar kesalahannya, isi dunia ingin dikalahkan dengan nafsunya karena ingin membuktikan kesaktiannya.

Mengetahui kelakuan anak-anaknya tersebut, marahlah Sang Hyang Tunggal dan diusirlah kedua anaknya itu.  Sang Hyang Antaga yang berciri mulutnya dower, dititah menjadi pemomong manusia yang jahat dan namanya diganti menjadi Togog, sementara Sang Hyang Ismaya diusir dari khayangan dan diganti namanya menjadi Semar, yang bertugas mendampingi orang-orang baik.  Sementara Sang Hyang Manikmaya dalam hati bergembira karena kedua saudaranya sudah terusir dari khayangan, ia menjadi putra mahkota tunggal menggantikan ayahandanya dan mengubah namanya menjadi Betara Guru.

Dalam kisah Baratayudha yaitu pertempuran antara Pandawa dan Korawa di Padang Kurusetra, peran Semar sangat menentukan kemenangan kerajaan Amartha dimana Pandawa bernaung. Dia selalu memberikan nasihat-nasihat bijaksana yang “manusiawi” tetapi hitam putih.  Berbeda dengan Prabu Kresna sebagai rajanya Amartha yang memberi nasehat praktis untuk memenangkan perang, meskipun dengan tipu muslihat.  Ini bisa dimengerti karena Prabu Kresna sendiri adalah titisan dari Betara Guru, saudara satu telur Semar dan Togog.

Meskipun ini hanya merupakan kisah pewayangan yang aslinya dari India, tetapi kemudian diadaptasi dalam masyarakat Nusantara, Semar mewujud dalam setiap kisah dengan nama yang berbeda-beda.  Di jaman kerajaan Majapahit, Semar disebut Sabdopalon-Nayagenggong yang mendampingi sampai dengan raja Majapahit terakhir Prabu Brawijaya.  Sabdopalon-Naragenggong pun mendeskripsikan Semar sebagai “samar” atau tidak jelas, fisiknya tidak bisa menjelaskan apakah dia laki-laki atau perempuan, tetapi penuh kebijaksanaan, menjadi panutan karena ia pada dasarnya diciptakan sebagai batur atau pembantu atau abdi.  Karena “kesamarannya” menjadikannya tokoh yang “bebas nilai”, ia juga bisa masuk ke atas dan ke bawah.  Ia akan setia pada yang diikutinya, dan tidak canggung untuk menegur ndoro-nya kalau akan berbuat salah.  Sebagai titisan dewa, Semar tidak akan mati. Ia akan “murcha” (menghilang menjadi … bintang jauh, burung merpati dan lain-lain) kalau tuannya meninggal, dan akan mengabdi pada tuan lain yang ingin berbuat baik.  Semar belajar dari pelajaran dari pemuda yang ganteng, menjadi manusia yang buruk muka karena napsunya ingin menelan Gunung raksasa sebagai perwujudan dunia fana.

Dalam masyarakat Jawa, banyak tokoh yang diidentikkan dengan Semar atau merasa mempunyai kekuatan Semar.  Mereka umumnya mempunyai pengikut, yang umumnya ingin mendapatkan kedamaian Semar dalam dirinya. Saya ingat beberapa kata yang menggambarkan ke-Semar-an mereka :

              Gusti ingkang Maha Suci

              Sirullah Dzatullah Sifatullah

Kulo sejatinipun satryo,

              Nyuwun kekiatan lan panguaos

              Kagem anyirna’aken tumindak ingkang lepat

(kira-kira maksudnya : Atas nama Tuhan Yang Maha Kuasa, saya adalah satria, mohon kekuatan dan kuasa untuk memerangi tindakan yang tidak baik).

Terlepas ada atau tidaknya Semar, namun ke-Semar-an sejatinya ada dalam setiap tindakan baik yang mengarahkan perilaku baik setiap makluk.  Banyak orang mengagumi Semar karena ia mampu berinstropeksi dan ingin “menebus dosanya” yang dikuasai nafsu dengan mengabdi, memberikan nasihat yang mengarah pada kebaikan semesta.

Bogor, 6 Juni 2022

Ilustrasi :

emar sudah terkenal, makanya saya sengaja melukis dalam kaos tokoh saudaranya Semar, Sang Hyang Antaga alias Togog, The Whisperer.

Share :
Previous Post
Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *